Karena Kata Sebiji, Rusak Spanduk Sebentangan

Foto: Muhammad Nur Abdurrahman

(Anwar Jimpe Rachman)

Benar juga kata para munsyi (pakar bahasa), orang-orang pemerintah yang seharusnya menjaga aset-aset bangsa, termasuk bahasa, malah merekalah yang justru disebut-sebut sebagai salah satu kelompok pengguna bahasa Indonesia yang paling buruk di negeri ini. Tidak percaya? Saya akan mengajak anda melihat sejumlah spanduk di depan kantor pemerintah di Makassar.

Di Kantor Gabungan Dinas di persimpangan Jalan Mesjid Raya dan Jalan Urip Sumohardjo terbentang spanduk berbunyi “Stop AIDS saatnya melayani”. Maksudnya apa ya? Kalimat imbauan ini sangat membingungkan. Saya mencoba mengutak-atiknya, misalnya dengan memberi tanda koma di tengah kalimat, tapi tetap saja sulit menangkap maknanya. Masyarakat diajak menghentikan penyebaran AIDS, adalah pesan yang bisa saya cerna dengan mudah, tapi dua kata di belakangnya “saatnya melayani” ini yang sama sekali sulit dicerna. Melayani siapa dan melayani dalam bentuk apa?

Kebingungan yang hampir serupa juga saya rasakan ketika membaca spanduk “Stop AIDS Taati Janji” yang dibentang di depan Kantor Dinas Perhubungan, tepat berhadapan dengan bekas kawasan Terminal Panaikang. Lagi-lagi, imbauan menghentikan penyebaran AIDS bisa saya pahami, tapi dua kata berikutnya, “Taati Janji”, ini juga membuat saya memutar otak memikirkannya. Janji pada siapa dan apa isi janjinya?

Ketika kebingungan belum berhenti, satu lagi spanduk lainnya yang juga diikat di tempat itu makin membuat saya bingung. Bunyinya: “Dengan reformasi birokrasi kita wujudkan aparatur pemerintah yang bersih dan sejahtera”. Saya membacanya berulang-ulang, dan setelah memahami pesannya, saya rasanya ingin mengajukan protes. Spanduk ini jelas-jelas hanya memuat kepentingan aparatur pemerintah saja yang ingin di-‘sejahtera’-kan atau dimakmurkan. Maksudnya reformasi birokrasi yang berlangsung diharapkan membuat aparatur bertambah sejahtera alias kaya? Eits! Jadi bagaimana dengan rakyat? Bukannya reformasi birokrasi seharusnya membuahkan pelayanan publik yang lebih efisien bagi masyarakat, dan rasanya harapan seperti ini yang lebih mengena dipasang di sebuah spanduk.

Nah, lain lagi di salah satu instansi keuangan di Jalan Slamet Riyadi, tak jauh dari Balaikota Makassar. Secarik spanduk dibentang dengan gagah. Spanduk narkotika dan obat-obat terlarang itu dipasang di pagar instansi itu. “Hindari Diri Anda dari Narkoba. Jangan coba-coba”, begitu yang tertulis di spanduk itu. Sepintas membacanya memang tak ada yang aneh, tapi cobalah lihat betapa tidak efektifnya penggunaan kata di spanduk itu. Kalimat “Hindari Diri Anda” adalah kalimat yang mubasir dan hanya bisa mengundang tawa. Mana ada orang yang bisa berkelit dari dirinya sendiri? Seharusnya cukup dengan “Hindari Narkoba”. Ya, tapi mau apa lagi.

Tak cuma sampai di situ. Ada lagi kalimat dengan huruf yang lebih besar ditulis di bawahnya, “Jangan Coba-Coba”. Lucu juga spanduk itu. Mudah-mudahan tidak ada pembaca yang iseng menerjemahkan pesannya bahwa ‘masyarakat jangan coba-coba menghindar dari narkoba’.

Soal istilah “coba-coba” ini mengingatkan juga pada selembar stiker yang tertempel di sebuah pintu di Balaikota Parepare. Tulisannya, adalah “Korupsi, jangan coba-coba”. Ketika itu, saya sedang bercakap dengan salah seorang pegawai di sana. Tulisan stiker itu kemudian menjadi perbincangan kami. “Pantas korupsi merajalela”, kata lelaki berkumis itu, “orang malah disuruh jangan dicoba-coba. Itu sama artinya kalau kita mengatakan korupsi itu mesti diseriusi,” kata dia seraya tergelak. Nah, ini salah membaca pesan atau keisengan belaka memaknai peringatan dilarang korupsi?

Jadi begitulah, gara-gara kata sebiji, rusak spanduk sebentangan, rancu pesan yang disampaikan. Menutup tulisan ini, saya ingin memberi bonus dari spanduk berwarna biru gelap di sebuah ruang pamer mobil di Makassar, yang bertulis “Pekan Promosi Service Week”. Nah, kalau yang ini bagaimana?

NB: Tulisan ini pernah disiarkan di www.panyingkul.com edisi 28-12-2006.

0 comments:

Post a Comment