Ma'diawa Cempa

Ma’diawa cempa. Ini kata kerja dalam Bahasa Bugis. Arti harfiahnya 'ke bawah pohon asam'. Saya dapatkan kosakata ini dari naskah cerita La Padoma Ennaja (La Padoma yang Malang).
Ma'diawa cempa adalah istilah Bugis untuk menyabung ayam, berjudi, atau menggoda perempuan. Mengapa pohon asam? 
Rupanya menurut mendiang Muhammad Salim, munsyi Bugis, di bawah pohon asamlah ketiga kegiatan tadi berlangsung di zaman Bugis dulu. Penjelasan Pak Salim ini dijelaskan ulang oleh kawan saya, Ardadi, suatu sore Rabu penghujung Juni 2011.
Pohon asam di masa lalu hanya tumbuh dan tegak di sekitar rumah kalangan bangsawan. Di masa lampau, asamlah yang mungkin menjadi salah satu bumbu dapur utama rumah-rumah orang Bugis--sebelum kemudian mangga berfungsi sama seperti sekarang. 
"Kalau menjelang panen asam, orang-orang, katanya, bahkan mempersiapkan acara khusus sebelum memanen," kata Ardadi mengutip penjelasan Pak Salim.
Gelaran acara itu lalu mengundang orang-orang berkumpul dan bergaul. Kaum laki-laki menyabung ayam sampai berjudi. Sedang perempuan datang di situ mengumpul dan mengupas buah asam sebagai bumbu utama dapur mereka. 
Read more

Slash?

Foto: Anwar Jimpe Rachman
Foto ini saya rekam di sebuah warung di sekitar pertengahan jalan poros Mamuju-Pasangkayu. Saya pikir, di dada gambar ini bertuliskan 'Slash', gitaris Guns N' Roses. Rupanya saya salah kira. Di situ tertulis 'Setan'! (AJR)
Read more

Cash Hape


Layanan pengisian baterei gratis di sebuah warung di sekitar Kilometer 35 poros Mamuju-Makassar. (Foto: Anwar Jimpe Rachman


Read more

Surat Penangkapan Ayam

Foto: Anwar Jimpe Rachman

Gambar ini saya rekam ketika saya berkesempatan ke rumah A Abdillah Karim di Biring Kallo, Tanralili, Maros, akhir Juli 2009. Daerah ini berada di sekitar Bandar Udara Hasanuddin Makassar.
Surat itu sebenarnya sebagai tanda penjemputan bila ayam pedaging tiba masa panennya.
Si pemilik, A Abdillah Karim memang bekerjasama dengan pihak yang disebut “mitra”. Pakan ayam peternakannya dipasok oleh “mitra”. Imbalannya, Pak Abdillah menjual daging ternaknya ke mereka. 
“Surat itu sebagai bukti kalau ayam saya benar-benar dibeli oleh mitra. Bukan oleh orang lain,” terangnya, tersenyum.
Read more

Karena Kata Sebiji, Rusak Spanduk Sebentangan

Foto: Muhammad Nur Abdurrahman

(Anwar Jimpe Rachman)

Benar juga kata para munsyi (pakar bahasa), orang-orang pemerintah yang seharusnya menjaga aset-aset bangsa, termasuk bahasa, malah merekalah yang justru disebut-sebut sebagai salah satu kelompok pengguna bahasa Indonesia yang paling buruk di negeri ini. Tidak percaya? Saya akan mengajak anda melihat sejumlah spanduk di depan kantor pemerintah di Makassar.

Di Kantor Gabungan Dinas di persimpangan Jalan Mesjid Raya dan Jalan Urip Sumohardjo terbentang spanduk berbunyi “Stop AIDS saatnya melayani”. Maksudnya apa ya? Kalimat imbauan ini sangat membingungkan. Saya mencoba mengutak-atiknya, misalnya dengan memberi tanda koma di tengah kalimat, tapi tetap saja sulit menangkap maknanya. Masyarakat diajak menghentikan penyebaran AIDS, adalah pesan yang bisa saya cerna dengan mudah, tapi dua kata di belakangnya “saatnya melayani” ini yang sama sekali sulit dicerna. Melayani siapa dan melayani dalam bentuk apa?

Kebingungan yang hampir serupa juga saya rasakan ketika membaca spanduk “Stop AIDS Taati Janji” yang dibentang di depan Kantor Dinas Perhubungan, tepat berhadapan dengan bekas kawasan Terminal Panaikang. Lagi-lagi, imbauan menghentikan penyebaran AIDS bisa saya pahami, tapi dua kata berikutnya, “Taati Janji”, ini juga membuat saya memutar otak memikirkannya. Janji pada siapa dan apa isi janjinya?

Ketika kebingungan belum berhenti, satu lagi spanduk lainnya yang juga diikat di tempat itu makin membuat saya bingung. Bunyinya: “Dengan reformasi birokrasi kita wujudkan aparatur pemerintah yang bersih dan sejahtera”. Saya membacanya berulang-ulang, dan setelah memahami pesannya, saya rasanya ingin mengajukan protes. Spanduk ini jelas-jelas hanya memuat kepentingan aparatur pemerintah saja yang ingin di-‘sejahtera’-kan atau dimakmurkan. Maksudnya reformasi birokrasi yang berlangsung diharapkan membuat aparatur bertambah sejahtera alias kaya? Eits! Jadi bagaimana dengan rakyat? Bukannya reformasi birokrasi seharusnya membuahkan pelayanan publik yang lebih efisien bagi masyarakat, dan rasanya harapan seperti ini yang lebih mengena dipasang di sebuah spanduk.

Nah, lain lagi di salah satu instansi keuangan di Jalan Slamet Riyadi, tak jauh dari Balaikota Makassar. Secarik spanduk dibentang dengan gagah. Spanduk narkotika dan obat-obat terlarang itu dipasang di pagar instansi itu. “Hindari Diri Anda dari Narkoba. Jangan coba-coba”, begitu yang tertulis di spanduk itu. Sepintas membacanya memang tak ada yang aneh, tapi cobalah lihat betapa tidak efektifnya penggunaan kata di spanduk itu. Kalimat “Hindari Diri Anda” adalah kalimat yang mubasir dan hanya bisa mengundang tawa. Mana ada orang yang bisa berkelit dari dirinya sendiri? Seharusnya cukup dengan “Hindari Narkoba”. Ya, tapi mau apa lagi.

Tak cuma sampai di situ. Ada lagi kalimat dengan huruf yang lebih besar ditulis di bawahnya, “Jangan Coba-Coba”. Lucu juga spanduk itu. Mudah-mudahan tidak ada pembaca yang iseng menerjemahkan pesannya bahwa ‘masyarakat jangan coba-coba menghindar dari narkoba’.

Soal istilah “coba-coba” ini mengingatkan juga pada selembar stiker yang tertempel di sebuah pintu di Balaikota Parepare. Tulisannya, adalah “Korupsi, jangan coba-coba”. Ketika itu, saya sedang bercakap dengan salah seorang pegawai di sana. Tulisan stiker itu kemudian menjadi perbincangan kami. “Pantas korupsi merajalela”, kata lelaki berkumis itu, “orang malah disuruh jangan dicoba-coba. Itu sama artinya kalau kita mengatakan korupsi itu mesti diseriusi,” kata dia seraya tergelak. Nah, ini salah membaca pesan atau keisengan belaka memaknai peringatan dilarang korupsi?

Jadi begitulah, gara-gara kata sebiji, rusak spanduk sebentangan, rancu pesan yang disampaikan. Menutup tulisan ini, saya ingin memberi bonus dari spanduk berwarna biru gelap di sebuah ruang pamer mobil di Makassar, yang bertulis “Pekan Promosi Service Week”. Nah, kalau yang ini bagaimana?

Read more

Sedang BER-apa Kota Anda?


(Anwar Jimpe Rachman)

Penghargaan keindahan dan tata kota bergengsi Adipura, menjadi dambaan berbagai kota di Indonesia. Salah satu langkah mengajak warga kota mempercantik kota demi memenangkan Adipura antara lain diwujudkan dengan menciptakan slogan kota. Beberapa tahun lalu, seolah saling berjanji, hampir semua kota di Sulawesi Selatan memiliki semboyan yang diawali dengan tiga huruf: BER. Ada kota BERIMAN, ada yang BERTAKWA, BERSAHAJA, dan ada pula yang BERHIBER. Imbuhan “Ber” di sini singkatan dari kata “bersih”, sementara sisanya yang lain tinggal dipadupadankan dengan akronim yang dipilih.

Pemerintah Kabupaten Soppeng memakai singkatan BERHIBER, kepanjangan dari Bersih-Hijau-Berbunga. Tentu harapannya agar kota yang dulu dijuluki Java van Sulawesi ini senantiasa terlihat resik dengan bunga yang menghias sudut kota. Tapi ada yang memelesetkan bahwa kalau kata itu merupakan kepanjangan dari Berbau-Hitam-Bergelantungan. Anekdot tiga kata itu sendiri merujuk pada kelelawar yang memang begitu banyak bersarang di pohon asam di pusat kotanya. Kehadiran kelelawar ini juga yang membuat Soppeng dijuluki Kota Kalong. Seorang sopir pete-pete asal Soppeng, menulis di kaca belakang kendaraannya: A Man from the Bat City, untuk menjelaskan ia berasal dari kota ini.

Kebetulan juga Kota Bandung pun sempat menjadikan BERHIBER sebagai slogan. Dan kata ini sekadar singkatan yang tidak mengandung makna apa-apa. Pemkab Soppeng waktu itu diangggap oleh sebagian kalangan kurang kreatif karena menciptakan akronim yang tidak memiliki makna, sehingga sulit diingat. Misalnya, BERIMAN, yang menjadi slogan Kota Bogor. Sekarang, BERHIBER diganti dengan semangat baru yakni BERASAS IMAN(Bersih, Aman, Serasi, Adil Sejahtera, serta Indah dan Nyaman) yang dilansir Pemkab Soppeng di situs www.soppeng.go.id.

Sama halnya dengan Soppeng, Kotamadya Parepare pun sempat mengusung slogan berawalan ”BER”. Awalnya, Parepare dikenal sebagai Kota BERSAHAJA (bersih, aman, sehat dan sejahtera). Sejumlah sudut-sudut kota dipenuhi kata ’Bersahaja’, baik dicat di papan iklan maupun pada tugu atau ornamen yang dibuat warga. Tapi tulisan-tulisan itu sudah pudar, nyaris tidak terbaca, karena berganti menjadi ”Parepare Bandar Madani”. Dua kata yang disebut itu terakhir itu bukanlah akronim. Ia hanya berupa konsep pembangunan kota pelabuhan (bandar) dengan penguatan masyarakat yang sadar akan hak-haknya (madani).

Namun, seorang tokoh masyarakat setempat pernah mengatakan, beruntung kata itu sudah diganti dengan konsep Bandar Madani. Kalau tidak, pembangunan di kota itu akan begitu-begitu saja. “Maju tapi ya begitu-begitu saja. Ya Anda tahulah kalau ‘Bersahaja’ itu bagaimana,” katanya dalam sebuah wawancara.

Bagaimana dengan Makassar sendiri? Di awal 1990-an, setiap warga yang masuk ke Makassar lewat jalur Tamalanrea, mereka akan disambut dengan papan iklan ”Ujungpandang Teduh Bersinar” yang ada di sekitar jembatan Sungai Tello, di pertigaan PLTU. Sebelum berganti nama kembal menjadi Makassar, slogan Teduh Bersinar memang diusung Ujungpandang untuk meraih Adipura. Teduh Bersinar adalah akronim dari "Tertib dan Hijau, bersih indah dan rapi. Tentu sebagai dua kata yang dirangkai, ”teduh” dan ”bersinar” adalah dua kata yang menimbulkan kesan kontras. Dan rasa-rasanya kata ”teduh” di sini tidak tepat menggambarkan kondisi Makassar yang sejak dulu dikenal panas berdebu dan berpohon jarang.

Menarik juga memerhatikan tetangga sebelah utara Makassar: Kabupaten Maros. Berdasarkan Renstra [Rencana Strategis] 2005-2010, Maros menggunakan kata BERKESAN ; singkatan dari Bersih-Elok-Rapi-Kompak-Estetika-Sejuk-Damai dan Nyaman). Dari delapan kata yang dideret itu, tujuh di antaranya adalah kata sifat. Hanya ’estetika’ yang merupakan kata benda. Sengajakah? Wallahualam. Dari semua kepanjangan semboyan pembangunan daerah itu, mungkin hanya Maros yang menggunakan kata benda. Bisa jadi maksud pencetusnya adalah ’estetis’ atau berseni.

Ada pula kabupaten yang menggunakan kata benda yang menjadi aset di wilayah mereka menjadi simbol, seperti halnya Kabupaten Sidenreng Rappang mengonsepnya menjadi Kota Beras (Bersih-Elok-Rapi-Aman-Sejahtera). Kata ”beras” ini kemudian diutak-atik sedemikian rupa hingga menjadi slogan. Tapi yang pasti, beras pulalah yang menjadikan daerah ini dikenal sebagai salah satu daerah lumbung padi Sulsel. Data tahun 2001 menunjukkan, produksi padi persawahan Sidrap lebih dari 400.000 ton dari 46.000 hektare dan menjadi pemasok lebih dari separuh kebutuhan beras di Sulsel.

Nah, kembali ke Kota Makassar, kini ibukota provinsi Sulsel ini memiliki tag-line baru, yakni Makassar Great Expectation. Ini tentu bukan lagi akronim seperti jaman Orde Baru dulu. Goodbye Teduh Bersinar! Makassar telah mengucapkan selamat tinggal pada slogan lama. Menurut berita di media lokal saat peresmian penggunaan motto baru tersebut tahun ini, Makassar ingin go-international dengan slogan yang bisa dimengerti seluruh warga dunia. Semua paham kan arti slogan ini? Seorang teman dengan jenaka menerjemahkannya: “Tinggi dudui harapanmu.....”(p!)

(Sumber foto: http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2010/11/14/journey-to-celebes-part-8-sidrap-negeri-dua-kota/)

NB: Tulisan ini juga pernah disiarkan di www.panyingkul.com, edisi 10-10-2006.
Read more

Ada Sop untuk Saudara

Foto: Anwar Jimpe Rachman
"Saya ingin orang yang warung ini nantinya mau mampir makan, karena menganggap bahwa yang menjual di dalam adalah saudara ji atau keluarga ji," Haji Abdullah, perintis warung Sop Saudara Pangkep.
Tapi ungkapan ini bukan hasil wawancara saya dengan pemilik warung yang ada dalam foto ini; melainkan saya kutip dari buku Makassar Nol Kilometer (Ininnawa-MKS 2005, hl. 141). 
Sengaja saya mengutipnya karena mengingat ujaran H Abdullah ketika merekam gambar ini. Kebetulan pula, plang ini adanya di sekitar Tonasa, Pangkep Sulawesi Selatan, pekan terakhir Desember 2010.
Read more

Tukang Gigi yang "Bisa Ji Diatur"

Foto: Anwar Jimpe Rachman
Saya cukup ragu menjelaskan tepatnya tukang gigi yang satu ini. Tapi singkatnya, ia ada di Jenetaesa, salah satu desa di Kabupaten Maros. Letaknya bertetangga dengan kawasan wisata Bantimurung, sekisaran 30 kilometer dari Makassar.
Tidak sampai di situ. Jalanan berbatu dan panjang harus Anda lalui untuk menemuinya. Sampai di sana, Anda harus jeli mencari karena tempat praktiknya dilingkupi rimbun rumpun bambu.
Semoga Anda sampai tujuan dan harga "bisa ji diatur".
Read more

Bakso Sehangat Asmara

Foto: Anwar Jimpe Rachman
Sayangnya, saya tidak mampu lagi memesan bakso ini karena dijepit rasa lapar. Hanya hidangan mi cepat saji yang saya embat di bangku panjang tukang bakso ini, di hari yang terik di Malino, Gowa, Sulawesi Selatan.
Begitu kenyang, saya belum bisa membayangkan bagaimana rasa bakso ini. Hangat seperti asmara atau pedas seperti patah hati--dua rasa yang cocok di kawasan sedingin Malino? Hmm...
Read more

Jandaku Lewat

Foto: Anwar Jimpe Rachman
Dua perempuan muda melintas pada sore di Makale, Toraja di tahun 2009 lalu di persimpangan sekitar Pasar Makale, Sulawesi Selatan.
Entah apa maksudnya. Tapi posisi janda selalu menjadi topik hangat di alam bawah sadar masyarakat luas. Bukan hanya ada coretan tembok seperti ini. Dalam kesenian semisal kecapi Bugis, syair-syair lagunya pun membicarakan tentang janda.
Read more